Pages

Kamis, 30 Juli 2015

Review Novel: The Best of Me (Yang Terbaik Dariku) by Nicholas Sparks



Judul : The Best of Me (Yang Terbaik Dariku)
Penulis : Nicholas Sparks
Penerjemah : Ambhita Dhyaningrum
Jumlah Halaman :  392 hlm.
Genre : Adult Romance
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cover Designer : Movie Tie-In Cover
Tahun : 2014
Harga : 51.000 (beli di fb: Naufal Jasa Kurir)
ISBN : 978-602-03-1048-0
Rating di Goodreads :  3.83 stars of  84,683 reviews
First Sentence : Bagi Dawson Cole, halusinasi-halusinasi itu dimulai sejak ledakan di anjungan, pada hari seharusnya ia mati.
Final Sentence : “Aku juga sayang padamu.”

Menjadi one of a kind sama sekali tidak membuat Dawson mendapatkan keistimewaan. Sebaliknya, perbedaan yang menciptakan jurang lebar antara Dawson dan anggota keluarganya yang lain justru membuat Dawson seolah dimusuhi. Terlahir di tengah keluarga kriminal, Dawson yang seorang baik-baik dan berprestasi di sekolah tak pernah menggembor-gemborkan prestasinya kepada keluarganya, justru sebaliknya, ia malah harus menutupi pencapaian tersebut dengan belajar keras untuk sengaja gagal dalam ujian bahkan memalsukan nilai rapor agak tampak lebih buruk dari nilai yang sebenarnya. Namun, sepandai-pandainya Dawson berpura-pura beda dari yang lainnya, kepalsuan tersebut tetap saja ketahuan dan membuat Dawson tak luput dari perlakuan kejam sepupu-sepupunya, Ted dan Abee, bahkan ayahnya sendiri yang merupakan seorang penggemar ‘ikat pinggang’.
Sampai pada satu titik tertentu, Dawson akhirnya gerah dengan kekejaman sang ayah dan mengancam kalau sampai ayahnya mengayunkan ikat pinggang lagi padanya, ia akan membunuhnya. Selepas peristiwa itu, Dawson pun merasa bahwa sudah saatnya ia harus pergi dari rumah. Untungnya, Tuck mau menerimanya sebagai seorang asisten di bengkel dan Dawson pun tinggal di sana.
Di usianya yang masih remaja, Dawson memulai rajutan kisah kasihnya dengan seorang perempuan kelas atas bernama Amanda Collier. Kisah mereka dimulai sejak mereka dipasangkan sebagai partner di praktikum Kimia. Namun, seperti kisah cinta beda kelas lainnya, kisah asmara mereka-pun mendapat tentangan dari orangtua Amanda. Bahkan, Amanda sampai memutuskan untuk minggat dari rumah dan mengajak Dawson untuk hidup bersamanya di kehidupan yang betul-betul baru. Sayangnya, Dawson menolak hal tersebut dan menyuruh Amanda untuk kembali ke keluarganya. Dawson berfikir, mereka tidak akan pernah bisa membangun kehidupan karena Dawson sendiri-pun bukan orang yang berpunya. Amanda yang kecewa lantas meninggalkan Dawson, kuliah, dan kisah cinta masa remaja mereka pun berakhir sampai disana.
Dua puluh lima tahun kemudian, mereka kembali bertemu di upacara kematian Tuck, pria yang sudah dianggap sahabat bahkan keluarga sendiri oleh mereka berdua. Lewat pengacaranya, Tuck menitipkan sebuah wasiat yang harus dilakukan oleh Dawson dan Amanda. Selain itu, Tuck juga memberi mereka tiga buah surat. Satu surat untuk mereka baca berdua, dan dua surat lainnya untuk masing-masing dari mereka. Permintaan terakhir dari Tuck itulah yang membuat mereka tertahan di Oriental, dan tanpa sadar kembali mengenang romansa mereka di saat remaja, yang ternyata tak lekang baik di hati Dawson maupun Amanda yang sudah bersuami dan mempunyai 4 orang anak.
Sayangnya, kebersamaan mereka mempunyai batas waktu, dimana Dawson dan Amanda harus kembali ke kehidupan mereka masing-masing setelah misi dari Tuck dilaksanakan. Namun, isi surat yang dititipkan Tuck pada mereka berdua, membuat mereka kembali mempertanyakan perasaan mereka. Amanda pun lantas bimbang, karena bagaimanapun, ia bukanlah wanita lajang lagi. Ada keluarga yang juga butuh dirinya. Lalu, dua buah peristiwa yang terjadi secara bersamaan namun di tempat yang berbeda, membuat jalan Dawson dan Amanda kembali bersimpangan. Melibatkan sesosok ‘hantu’ masa lalu yang tidak pernah membuat Dawson merasa tenang hingga kini, Dawson dan Amanda pun pada akhirnya dekat satu sama lain, tetapi dengan cara yang jauh di luar dugaan mereka. Yang terbaik darinya, telah Dawson berikan untuk kebahagiaan Amanda.
***
Banyak yang mengulas The Best of Me dengan pandangan negatif, baik dari versi buku maupun film. Saya akui, The Best of Me bukanlah sebuah karya yang orisinil, pun memiliki kekuatan memikat seperti novel-novel Om Nico sebelumnya. Latar sosial asmara berbeda kasta tentu akan mengingatkan kita secara gamblang dengan The Notebook yang dieksekusi dengan sangat mengesankan. Dan ketika The Best of Me mengulang hal tersebut, meskipun tidak menjadi tema utama, tetap saja atmosfernya terkesan basi, apalagi ditulis oleh author yang sama. Satu hal yang membuat novel ini tidak tampak cemerlang di mata pembaca adalah karena alur cerita yang tampak lebih miserable daripada nasib-nasib tokoh di film Les Miserables. Bagaimana tidak, sang tokoh utama, Dawson, didaulat menjadi karakter pria paling tidak beruntung sepanjang sejarah pernovelan, padahal ia tokoh utama. Selain itu, konflik utama cerita yang muncul menjelang akhir juga sangat klise. Bagi pembaca di Indonesia, mudah sekali untuk mengaitkan The Best of Me dengan julukan sinetronish alias kisah yang sedikit kurang masuk di akal dapat terjadi di kehidupan nyata.
Namun, ibarat Bang Christian Simamora yang dapat menyulap kisah-kisah klise di serial J-Boyfriend-nya menjadi bacaan yang epik, Om Nico tetap tidak kehilangan daya magisnya dalam merangkai kata-kata. Bab-bab terakhir, meski sudah saya bilang sebelumnya terlalu sinetron, masih tetap dapat membuat saya terenyuh dalam perasaan haru dan hancur yang dialami Amanda. Kepanikan Amanda saat itu menggambarkan dengan sangat gemilang betapa ia adalah seorang ibu yang sangat menyayangi keluarganya. Nah, yang saya justru heran, sikap Amanda ini justru dikritik sebagian pembaca. Katanya, Amanda tidak konsisten karena ia memilih untuk putar balik demi keluarganya daripada menyatakan perasaannya pada Dawson. Padahal, sikap tersebut lah yang justru membuat Amanda tampak manusiawi dan tidak egois di mata saya. Bagaimanapun juga, keluarga adalah hal yang utama. Dan berada di posisi Amanda saat itu bukanlah hal yang mudah dihadapi.
Original Cover
Dari sisi Dawson sendiri, ia tetap menjadi tokoh utama pria baik-baik. Well, sebenarnya tidak ada satupun tokoh utama pria buatan Om Nico yang benar-benar berandal. Dan hebatnya, meski karakternya nyaris sama, saya tidak dapat mencocokkan tokoh pria yang satu dengan yang lainnya karena Om Nico seolah punya trik jitu untuk membuat tokoh-tokohnya terkesan berbeda. Dawson sendiri punya kisah hidup yang menarik, yang menurut saya tampil lebih menarik dibanding kisah hubungannya dengan Amanda, mulai dari terlahir sebagai ‘angsa’ di tengah kelompok itik buruk rupa, menjadi magnet bagi berbagai peristiwa mengerikan yang kerap menimpa timnya di tempat kerja, dihantui oleh sosok yang seolah hadir untuk terus menyelamatkan nyawanya namun ternyata punya misi yang bikin jawdropping, dan fakta bahwa kesengsaraan adalah teman karibnya sejak ia lahir sampai nanti.
Sebenarnya, novel ini punya twist di bagian menjelang ending, namun sayangnya kejutan tersebut begitu mudah tertebak sejak pertengahan halaman sehingga saya memutuskan untuk tidak menyebutnya sebagai twist, melainkan dinamika alur yang sedikit menyentak tapi tidak membuat kaget.
Well, saya sih bingung kenapa The Best of Me yang harus dijadikan film sementara novel-novel Om Nico jaman dulu justru terlihat lebih outstanding. Dan terbukti memang, film The Best of Me gagal memikat penonton. To tell the truth, ‘The Lucky One’ dan ‘A Walk to Remember’ adalah film adaptasi novel Om Nico terbaik yang pernah saya tonton, yang pasti juga sudah saya baca. Rasanya agak paradok ketika dulu saya begitu mengidam-idamkan The Best of Me karena terpikat dengan cover beranda dan kursinya, namun sekarang justru sedikit kecewa dengan ceritanya.
Note: Ada banyak sekali typo di novel ini. BANYAKKK!!!

           
Rating
Cerita : 5 of 7
Terjemahan : 6 of 7
Cover Movie Tie-In : 6 of 7
Cover Asli : 7 of 7

Review Novel: Interlude by Windry Ramadhina




Judul : Interlude
Penulis : Windry Ramadhina
Jumlah Halaman : viii + 372 hlm.
Genre : New Adult Romance
Penerbit : GagasMedia
Cover Designer : Levina Lesmana
Tahun : 2014 (Cet. 1)
Harga : pinjam di perpusda
ISBN : 978-979-780-722-1
Rating di Goodreads :  3.90 stars of  590 ratings
First Sentence : Air merintik deras dari pancuran di langit-langit.
Final Sentence : “Selamanya.”

“Kalau begitu, biar aku jadi lautmu.” Tangan Kai terulur untuk Hanna. “Aku akan membantumu meluruhkan semua cela itu.” Hal. 195

Hidup Hanna jungkir balik sejak orang yang ia percaya sebagai tempat menambatkan hatinya memerkosanya. Selama setahun, ia menghindar dari segala hiruk-pikuk dunia, menenggelamkan diri dalam trauma yang tak dapat disembuhkan. Terapis adalah satu-satunya orang luar yang ia biarkan untuk masuk dalam hari-harinya saat itu. Namun, setelah setahun berlalu, Hanna pun kembali ke dunia luar dengan melanjutkan kuliahnya yang tertunda karena cuti terminal. Walau begitu, ia tetap saja tak beranjak dari perasaan traumatis dan membuatnya menjadi sosok yang amat tertutup dan sangat antipati terhadap lelaki, sampai akhirnya garis hidupnya disinggungkan dengan garis hidup seorang player bernama Kai.
Pertemuan Hanna dan Kai dimulai ketika terapis Hanna menyadari adanya dentingan suara gitar yang terekam alat perekam Hanna. Ya, gadis itu memang suka merekam suara apa aja di sekitarnya karena hanya dengan itu ia merasa tidak kesepian. Hanna begitu terbuai dengan alunan suara gitar tersebut, sampai akhirnya ia benar-benar bertemu dengan pemilik tangan pemetik senar gitar yang sedang mendendangkan lagu yang sama di atap apartemen Hanna. Mereka bersitatap beberapa saat sampai akhirnya dipisahkan oleh teman si pemetik gitar.
Pertemuan Hanna dan Kai kembali terjadi ketika mereka berada di bus yang sama. Kai yang tertarik pada Hanna langsung mengambil tempat di sebelah Hanna, dan itu membuat Hanna benar-benar gelisah. Sampai-sampai ia tidak dapat menghindar ketika sebuah batu melayang ke arahnya saat bus tersebut terjebak di tengah-tengah tawuran. Kai yang melihat Hanna terluka refleks melompat keluar dari bus dan menghajar orang yang melayangkan batu ke arah Hanna.
Interaksi antar mereka pun semakin intens sejak saat itu meskipun Hanna sempat diperingatkan Gitta, rekan Kai di band One Day Charm yang juga merupakan tetangga Hanna di apartemen, kalau ia sebaiknya menjauhi Kai karena cowok itu bukanlah cowok baik-baik. Namun Hanna tampaknya terbuai dengan Kai sampai akhirnya, di apartemen Hanna, Kai melakukan sesuatu kepada Hanna yang sejelas kristal mengingatkan Hanna akan traumanya. Kai yang tidak pernah gagal mendapatkan apa yang ia mau dari seorang cewek jelas merasa tersinggung dengan sikap defensif Hanna. Ia pun langsung meninggalkan Hanna, sementara Hanna kembali ke kehidupannya yang kelabu karena perilaku Kai.
Hanna yang mendadak meninggalkan apartemen dan absen dari kuliah menimbulkan kecurigaan Gitta bahwa gadis itu kembali mengalami kejadian buruk. Saat ia tahu bahwa Kai memperlakukan Hanna seperti yang cowok itu lakukan pada cewek-cewek lainnya, Gitta pun akhirnya membongkar kenapa Hanna berbeda dari gadis lainnya. Kai, entah kenapa, benar-benar merasa bersalah dan tak pantang menyerah mengejar maaf dari Hanna, si gadis dari Ipanema. Meski Kai, si pria yang meminjam nama laut, hampir saja membuat Hanna berfikir bahwa tak ada pria baik-baik di dunia ini, namun gadis itu tahu bagaimana ia harus bersikap.
***
            FYI, INTERLUDE adalah novel yang tak pernah masuk dalam daftar book to read saya. Saya sama sekali tidak tertarik dengan novel ini bahkan setelah saya membaca beberapa review yang memuji novel ini. Jujur, Windry Ramadhina bukanlah penulis favorit saya, bahkan saya tak pernah berminat untuk membaca buah tulisannya kecuali jika bukunya termasuk dalam sebuah seri seperti London di serial STPC. Predikatnya sebagai salah seorang penulis yang karyanya sempat masuk nominasi Khatulistiwa Literary Awards tentu membuat nama Windry Ramadhina tak bisa dipandang sebelah mata. Itu pulalah yang pada awalnya membuat saya penasaran dan tertarik untuk mengulik karyanya. Kendati demikian, Orange dan Memori (yang belum selesai saya baca) ternyata tak membuat saya tercengang, cenderung mengerutkan kening malah karena nampaknya ekspektasi saya terhadap Windry berlebihan. Ditambah lagi London yang juga tampil secara mediocre. Tetapi, entah kenapa saat itu, di antara sekian banyak buku Gagasmedia yang ada di perpustakaan di daerah saya (asal tahu saja, tampaknya Gagas punya aliansi dengan perpust daerah saya karena hampir semua novel Gagas tersedia di sini), saya malah memilih Interlude. Dan saya rasa, itu adalah pembuka mata saya bahwa Windry Ramadhina memang layak menyandang predikat penulis yang berhasil masuk nominasi Khatulistiwa Literary Awards, sementara saya mungkin hanya khilaf dan mengalami bad mood parah saat membaca Orange dan Memori dulu karena Interlude berhasil membuai saya dari kalimat pertama dan membuat saya berdecak puas di kalimat terakhir.
            Seingat saya, tak pernah ada novel yang berhasil membuat saya terpukau sejak di kalimat pertama, bahkan novel-novel Nicholas Sparks yang saya berikan penilaian sempurna. Namun, Interlude berhasil menjadi novel perdana yang menghadirkan hal tersebut sepanjang sejarah saya membaca buku. Kak Windry tidak membuat kalimat dengan diksi yang rumit, juga dengan kompleksitas berbelit-belit untuk mendeskripsikan bagaimana peristiwa memilukan yang tengah Hanna alami saat itu yang pas sekali disandingkan dengan rintik hujan. Atmosfer dark tersebut dengan suksesnya disalurkan kepada pembaca karena saya juga mendadak merasa muram, yang juga sempat saya rasakan saat selesai membaca Forgiven-nya Morra Quatro. Kesimpulannya, banyak memang bab pembuka yang berhasil membuat saya terus melanjutkan membaca novel sampai ending, namun hanya INTERLUDE yang mampu melakukan hal tersebut sejak di kalimat pertama.
            Mengenai penulisan, saya mungkin idiot karena saya baru sadar kalau Kak Windry punya tulisan yang rapi. Bukan, saya tidak membicarakan tulisan tangan tapi bagaimana Kak Windry memilih kata dan merangkai kalimat hingga menjadi paragraf, dan bagaimana Kak Windry mengaitkan antar paragraf dengan tepat. Saya fikir, tak ada kalimat, bahkan kata, yang sia-sia di novel ini. Semuanya seolah mendukung kesempurnaan yang dihadirkan INTERLUDE. Semua hal difikirkan matang-matang dan Kak Windry tahu apa yang benar-benar harus ia tulis dan apa yang hanya menjadi aksesoris belaka sehingga tanpa hal itupun INTERLUDE tetap melenggak sempurna bak seorang model kelas kakap di catwalk. Side story yang ia sisipkan terhadap Gitta, Ian, dan Jun-pun terasa amat menyatu dengan plot utama, tanpa hadir semata-mata sebagai distractor atau intermezzo di tengah konflik Kai dan Hanna.
            Mengenai karakter, saya biasanya agak gerah sama tipe bad boy yang dipasangkan dengan gadis baik-baik karena saya cenderung berada di sisi yang memegang teguh istilah cewek baik-baik akan mendapatkan cowok baik-baik, begitupun sebaliknya. Namun entah kenapa sosok Kai tidak membuat saya protes, bahkan saya mendukung hubungannya dengan Hanna. Hanya saja, saya masih ragu, adakah bastard boy nan bengal seperti Kai yang mempunyai kemampuan akademik luar biasa bahkan bisa memperoleh IP sempurna 6 semester berturut-turut karena sepengalaman saya, bad boy atau bad girl jarang yang punya prestasi akademik bagus. Orang-orang berotak encer yang saya kenal, dari zaman SD sampai sekarang, juga punya attitude yang baik karena mereka mampu mengendalikan sisi emosional mereka. Adapun politikus yang tergolong snollygoster adalah mereka yang mendapatkan nilai akademik bagus dengan penuh kecurangan. Ah, malah jadi melantur kemana-mana. Oh ya, di blog-nya, Kak Windry sempat membuat sketsa empat karakter utama di INTERLUDE beserta catatan what and how they look like meskipun pada kenyataannya, ada beberapa dari catatan tersebut yang akhirnya dieliminasi karena tidak digambarkan di INTERLUDE itu sendiri.
            Sudah dapat dibaca dari review saya yang penuh puji puja, jelas saya akan memberikan nilai sempurna untuk novel ini, dan dengan ini saya juga menasbihkan diri untuk menjadi fans Kak Windry Ramadhina yang artinya, saya akan mengoleksi dan membaca semua novel-novel yang Kak Windry tulis. Hari ini, saya sudah beli Walking after You yang jika didasarkan atas rating di Goodreads adalah novel terbaik Kak Windry. Cannot wait to read it for any longer.
Sebagai tambahan, INTERLUDE ini mengusung genre baru yang disebut New Adult Romance yang karakteristiknya juga pernah saya temui saat membaca Hujan dan Teduh karya Wulan Dewatra. For further information, mungkin bisa dibaca di Goodreads atau sumber lainnya di internet. Wassalam.


RATING

CERITA : 7 of 7
COVER : 7 of 7
 
Sketsa Hanna buatan Kak Windry

Sketsa Kai

Sketsa Gitta

Sketsa Jun






 
Images by Freepik